Dua Kepala, Satu Pengkhianatan: Kades dan BPD Rasabou Harus Dievaluasi

0

Kades dan BPD Rasabou gagal wujudkan janji pembangunan. Audit menyeluruh dan evaluasi mendesak untuk memulihkan kepercayaan publik.

IMG-20250803-WA0058

Pemerintahan Desa Rasabou kini menjadi sorotan tajam akibat kegagalan mewujudkan janji pembangunan yang digembar-gemborkan kepala desa terpilih. Dua program utama dalam visi-misi kepala desa—pembangunan Gedung Serbaguna dan pagar keliling kebun masyarakat—hingga kini tak kunjung terlaksana. Jangankan realisasi, bahkan fondasi pun belum diletakkan. Janji-janji ini bukan sekadar retorika kampanye, melainkan amanat yang mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c dan d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kegagalan ini bukan hanya kelalaian teknis, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Visi-misi kepala desa bukanlah hiasan baliho atau rangkaian kata indah untuk memikat suara. Namun, di Rasabou, janji pembangunan desa dari pinggiran hanyalah ilusi. Gedung serbaguna yang dijanjikan tak ada wujudnya, pagar keliling kebun masyarakat lenyap tanpa jejak, pelayanan publik jauh dari memadai, dan pengelolaan anggaran diduga sarat manipulasi. Transparansi, yang menjadi pilar utama pemerintahan desa, terkubur dalam sikap apatis kepala desa yang seolah menganggap masyarakat tak akan menagih janji.

Kegagalan ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap UU Desa. Pasal 26 mengamanatkan kepala desa untuk melaksanakan pembangunan yang partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Namun, ketika program prioritas yang dijanjikan diabaikan tanpa penjelasan, muncul indikasi penyalahgunaan wewenang, bahkan potensi penyimpangan anggaran. Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 menegaskan bahwa pembangunan desa harus berlandaskan RPJMDes dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Ketidaksesuaian antara janji dan realisasi, ditambah absennya laporan pertanggungjawaban, memperkuat dugaan adanya korupsi atau setidaknya abuse of power.

Tak hanya kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga gagal menjalankan fungsinya. Sesuai Pasal 55 UU Desa, BPD bertugas mengawasi kinerja kepala desa dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Namun, di Rasabou, BPD justru pasif, bahkan terkesan membiarkan penyimpangan. Masyarakat mulai mencium aroma kolusi antara kepala desa dan BPD, sebuah kolaborasi yang merusak demokrasi partisipatif. Ketika pengawasan lemah, ruang penyimpangan terbuka lebar, meninggalkan masyarakat tanpa akses terhadap fasilitas publik, informasi, dan kepercayaan terhadap pemerintahan.

Kondisi ini bukan sekadar stagnasi pembangunan, melainkan kegagalan sistemik yang mengancam tata kelola desa. Kepala desa tidak hanya gagal membangun infrastruktur, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan sosial. BPD, yang seharusnya menjadi benteng pengawasan, justru menjadi bagian dari masalah. Masyarakat, yang mestinya menjadi pusat pembangunan, kini hanya menjadi penonton janji-janji kosong.

Situasi ini menuntut tindakan tegas. Berdasarkan Pasal 29 dan 30 UU Desa, kepala desa dapat diberhentikan sementara atau permanen jika melanggar sumpah jabatan atau kewajibannya. BPD yang lalai juga harus dievaluasi oleh pemerintah daerah, bahkan dibubarkan jika terbukti terlibat pembiaran. Pemerintah daerah, inspektorat, dan aparat penegak hukum wajib melakukan audit khusus dan investigasi menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran. Tanpa intervensi, Rasabou akan terus terjebak dalam lingkaran pengkhianatan birokrasi.

Kegagalan Rasabou adalah cermin buruk tata kelola desa di Indonesia. Ini bukan hanya tentang gedung atau pagar yang tak kunjung dibangun, tetapi tentang hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi desa. Masyarakat harus bersuara, menagih hak mereka atas pembangunan yang transparan dan akuntabel. Negara harus hadir, bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai penegak keadilan. Jika dibiarkan, pengkhianatan ini bukan hanya merugikan Rasabou, tetapi juga mencoreng semangat desentralisasi dan demokrasi lokal yang menjadi ruh UU Desa.

Sudah saatnya Rasabou bangkit dari keterpurukan. Audit menyeluruh, evaluasi kepala desa dan BPD, serta penguatan peran masyarakat dalam pengawasan adalah langkah konkret untuk memutus rantai penyimpangan. Hanya dengan tindakan tegas dan komitmen bersama, kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan pembangunan desa yang sejati dapat diwujudkan. Rasabou bukan hanya soal satu desa, tetapi simbol perjuangan untuk tata kelola yang bersih dan berkeadilan.

img 20250803 wa00583078399301046572751
Oleh M. Galang Anugrah
Aktivis: Mahasiswa FH Ummat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *