Euforia Kemerdekaan atau Ilusi Persatuan? Fenomena Bendera One Piece dalam Peringatan HUT RI ke-80

Di tengah hiruk-pikuk persiapan peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, sebuah fenomena anomali muncul: pengibaran bendera Jolly Roger dari serial manga dan anime One Piece. Bendera hitam bergambar tengkorak ber-topi jerami ini, simbol kru bajak laut Straw Hat Pirates yang dipimpin Monkey D. Luffy, kini berkibar di rumah-rumah warga, truk sopir, bus angkutan, hingga kendaraan pribadi di berbagai daerah, dari Jawa hingga Sumatra. Fenomena ini bukan sekadar ekspresi budaya pop, melainkan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi bangsa, mengungkap retakan dalam narasi persatuan nasional yang sering digembar-gemborkan pemerintah.
Secara historis, kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan euforia kolektif: parade, lomba, dan pengibaran bendera Merah Putih yang melambangkan perjuangan heroik melawan kolonialisme. Namun, tahun ini, euforia itu tercemar oleh simbol bajak laut fiktif yang, dalam konteks One Piece, merepresentasikan perlawanan terhadap tirani World Government—sebuah rezim korup yang menindas rakyat demi kepentingan elit. Pengibaran bendera ini, yang dimulai sekitar enam bulan lalu di platform seperti TikTok dan kini menyebar ke dunia nyata, mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak responsif. Netizen dan warga mengaitkannya dengan “mati nya keadilan” dan “kekuasaan yang korup”, di mana bendera Merah Putih dianggap “terlalu suci” untuk dikibarkan di tengah ketidakadilan struktural, seperti korupsi endemik, ketimpangan ekonomi, dan pembungkaman aspirasi publik.
Kritik tajam layak ditujukan kepada pemerintahan yang gagal membaca sinyal ini sebagai panggilan reformasi. Alih-alih mengakui akar masalah—seperti kebijakan yang memihak oligarki, penegakan hukum selektif, dan erosi demokrasi—respons resmi justru ambigu. Menteri Sekretaris Negara menyatakan bahwa Istana tidak melarang pengibaran bendera One Piece selama tidak “dibenturkan atau disandingkan” dengan Merah Putih, mengklasifikasikannya sebagai “ekspresi kreativitas” yang sah. Namun, pernyataan ini hanyalah upaya kosmetik untuk meredam kontroversi, sementara di lapangan terjadi sweeping oleh aparat di daerah seperti Bogor, Jakarta Selatan, dan Depok. Bahkan, Wakil Menteri Dalam Negeri menyebutnya bukan pelanggaran, tapi pakar hukum memperingatkan potensi pidana jika dianggap memicu perpecahan. Ironisnya, fenomena ini justru menarik perhatian internasional, dengan Amnesty International menyoroti sebagai bentuk protes damai terhadap ketidakadilan dalam negeri.
Fenomena ini mengungkap ilusi persatuan yang rapuh. Persatuan nasional, yang sering diklaim sebagai warisan Bung Karno dan Bung Hatta, kini terancam oleh polarisasi sosial yang dipicu ketidaksetaraan. Bendera One Piece menjadi metafor “piracy” modern: perlawanan rakyat terhadap narasi resmi yang menyembunyikan kegagalan sistemik. Ini bukan sekadar tren pop culture, melainkan inovasi simbolik yang belum pernah dikemukakan sebelumnya—sebuah “perompakan” terhadap wacana kemerdekaan konvensional. Dalam One Piece, Luffy dan krunya mengejar “One Piece” sebagai harta karun kebebasan; analoginya, rakyat Indonesia kini “mengibarkan” simbol ini untuk menuntut keadilan yang hilang, bukan sekadar ritual tahunan yang kosong makna.
Hal baru yang ditawarkan fenomena ini adalah pemaknaan ulang kemerdekaan sebagai proses kontinu, bukan monumen statis. Ia membuka pemahaman bahwa persatuan bukanlah homogenitas paksaan, melainkan ruang bagi disiden damai. Inspirasi dari budaya pop Jepang ini bisa menjadi katalisator bagi gerakan sipil yang lebih inklusif, di mana anak muda—generasi Z dan milenial yang mendominasi pengibaran ini—terlibat aktif dalam diskursus nasional. Namun, tanpa respons substantif dari pemerintah, seperti reformasi anti-korupsi atau dialog terbuka, euforia kemerdekaan hanya akan menjadi ilusi, menyembunyikan retakan yang semakin dalam.
Pemerintah harus melihat fenomena ini sebagai peluang, bukan ancaman. Alih-alih sweeping, bukalah forum diskusi nasional tentang ketidakadilan, libatkan komunitas penggemar One Piece sebagai mitra dialog. Hanya dengan demikian, HUT RI ke-80 bisa menjadi momen transformatif, di mana bendera Merah Putih tak lagi berdiri sendirian, tapi didukung oleh semangat perlawanan yang autentik. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan perayaan yang hampa, di mana persatuan hanyalah slogan, bukan realitas.
