Euforia Saat Wisuda, Pusing Saat Sarjana
Artikel ini mengulas realita pasca-kampus: gaji di bawah UMR, sistem pendidikan yang timpang, dan perjuangan alumni menghadapi dunia kerja.

Menyelesaikan kuliah bukan sekadar soal gelar. Ia adalah tanggung jawab—bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang tua yang dengan penuh harap dan kerja keras menguliahkan anaknya demi masa depan yang cemerlang.
Namun, tidak semua perjalanan perkuliahan berjalan mulus. Semangat yang menggebu saat menjadi mahasiswa baru (maba) perlahan bisa memudar saat menginjak pertengahan semester. Banyak mahasiswa mulai mempertanyakan: “Apakah kuliah masih relevan? Apakah semua ini sepadan dengan uang, waktu, dan tenaga yang dikorbankan?”
Saya merasa kuliah tak ada gunanya. Bayar UKT mahal, sarjana malah pusing cari kerja, alias jadi pengangguran,” ungkap seorang mahasiswa kepada media ini.
Pandangan seperti ini bukan tanpa alasan. Sistem pendidikan tinggi yang seharusnya mencerdaskan dan memfasilitasi potensi, justru kerap terasa berat sebelah. Beberapa mahasiswa merasa tidak mendapatkan pelayanan akademik yang layak meskipun UKT dibayar penuh.
“Masa saya bayar UKT mahal-mahal tapi tak dilayani maksimal?” tambahnya
Jadi Maba semangat dipertengahan, merasa kuliah tak ada gunanya
Banyak kasus mahasiswa hampir berhenti kuliah gara-gara dosen dan pelayanan yang tak maksimal. Dipertengahan semester pasti kita merasakan ilmu yang didapatkan di ruang kelas itu cuman sedikit isinya.
“Kalo cuman presentasi dan menanggapi, aku lebih baik belajar dari YouTube aja dari rumah”. Jelasnya
Organisasi, Seminar, dan Jalan Menemukan Makna
Di sinilah banyak mahasiswa mulai mencari pelarian: mengikuti organisasi, seminar, dan berbagai aktivitas non-akademik untuk mengisi kekosongan yang tak terjawab di bangku kuliah. Lewat aktivitas ini, mereka mulai mengenali realita sosial yang lebih luas—bahwa sistem tidak selalu adil, dan bahwa ilmu bukan hanya soal teori dalam kelas.
Jangan lupa baca juga (Lulus karna kasihan? Realita yang terjadi di meja bimbingan )
Namun di balik semua keraguan dan kepenatan, banyak juga mahasiswa yang tetap memilih untuk bertahan. Mereka teringat wajah orang tua di kampung—yang rela menangis keringat demi membayar biaya kuliah. Tekanan ini justru menjadi alasan utama untuk tetap menyelesaikan studi.
Euforia perayaan wisuda, pusing carik kerja terpaksa kerja gaji dibawah UMR
Hari wisuda seharusnya menjadi puncak dari perjuangan panjang mahasiswa. Toga dikenakan, bunga dan selempang “S.1” dibagikan, foto bersama orang tua menjadi simbol kemenangan. Semua terlihat bahagia—euforia membuncah di media sosial. Tapi tak banyak yang berani bicara soal hari setelah itu: ketika ijazah sudah ditangan, tapi arah hidup belum juga ditemukan.
“Sudah wisuda, tapi malah bingung mau ke mana. Lowongan kerja banyak, tapi semuanya minta pengalaman. Akhirnya kerja seadanya, digaji di bawah UMR,” ungkap seorang alumni kampus negeri di Sumatera.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak sarjana muda yang terjebak di antara harapan dan kenyataan. Pendidikan tinggi seolah dijual sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi realitanya, dunia kerja tidak semurah janji brosur kampus. Lapangan kerja terbatas, persaingan makin ketat, dan tidak sedikit lulusan yang akhirnya bekerja di luar bidang ilmunya—bahkan dengan upah yang jauh dari layak.
Sarjana dan realita pasar kerja
Banyak lulusan sarjana yang akhirnya harus menerima pekerjaan di luar ekspektasi—bukan karena malas berusaha, tapi karena realita memang tidak memberi banyak pilihan. Dari bekerja sebagai staf admin bergaji 2 juta rupiah, hingga menjadi tenaga honorer tanpa jaminan masa depan, semua dilakukan demi bertahan.
Sementara itu, kampus seakan lepas tangan setelah wisuda. Tidak semua perguruan tinggi memiliki sistem tracer study atau pembinaan karier yang serius. Padahal, output pendidikan tinggi seharusnya bukan hanya angka kelulusan, tapi kualitas hidup setelah lulus.
Refleksi: Kuliah Itu Proses, Bukan Janji Langit
Kuliah bukan jaminan langsung untuk sukses, tapi ia adalah proses pembentukan karakter dan pengetahuan. Kampus bukan tempat yang sempurna—tapi ia bisa menjadi ruang awal untuk mengenal dunia, jika kita mau menggali lebih dalam dari sekadar duduk di kelas.
Jangan lupa baca juga (Lulusan S1 tidak ada isi, lulusan Cumlaude dipertanyakan?)
Untuk mahasiswa yang saat ini mulai goyah: kamu tidak sendiri. Ada banyak yang merasa lelah, ragu, bahkan ingin menyerah. Tapi jangan lupa, di balik perjuanganmu ada harapan orang tua dan masa depan yang sedang kamu bentuk sendiri.