Hukum Sebagai Alat Politik: Analisis Kasus Tom Lembong dan Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia
Kasus Tom Lembong memicu debat: Apakah hukum masih adil atau jadi alat politik? Simak refleksi kritis dampak lawfare terhadap demokrasi Indonesia.

Oleh : Agil A-M
Wasekum : PPPA Hmi Kom M. Darwis
Kasus hukum yang menjerat Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, telah menjadi sorotan publik dan memicu diskusi luas tentang integritas penegakan hukum di Indonesia. Dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi impor gula dikaitkan dengan motif politik yang terselubung, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hukum masih menjadi alat keadilan atau telah direduksi menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan lawan? Tulisan ini mengkritisi penyalahgunaan hukum sebagai alat politik dalam kasus Tom Lembong, menyoroti dampaknya terhadap demokrasi, dan mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengembalikan supremasi hukum.
Hukum sebagai Alat Politik: Pola Berulang dalam Demokrasi Indonesia
Kasus Tom Lembong bukanlah fenomena baru. Sejarah politik Indonesia mencatat berbagai kasus di mana hukum dimanipulasi untuk kepentingan politik. Proses hukum yang menjerat tokoh-tokoh seperti Anas Urbaningrum, Hary Tanoesoedibjo, hingga Ahok menunjukkan pola serupa: dugaan pelanggaran hukum sering kali muncul bersamaan dengan dinamika politik yang melibatkan tokoh tersebut. Dalam kasus Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang dikenal vokal mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah, tuduhan korupsi muncul di tengah spekulasi bahwa ia akan menjadi figur kunci dalam kontestasi politik mendatang. Konteks ini memunculkan kecurigaan bahwa kasus tersebut bukan semata-mata soal penegakan hukum, melainkan upaya untuk melemahkan posisi politiknya.
Penyalahgunaan hukum seperti ini, yang dikenal sebagai lawfare, merujuk pada penggunaan proses hukum untuk mencapai tujuan politik, sering kali dengan mengorbankan prinsip keadilan. Dalam kasus Lembong, ketidakjelasan bukti awal, proses penyelidikan yang tergesa-gesa, dan narasi media yang cenderung tendensius memperkuat dugaan adanya motif politik. Fenomena ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, tetapi juga mengancam fondasi demokrasi, di mana hukum seharusnya menjadi penjaga keadilan, bukan alat untuk memenangkan persaingan politik.
Dampak Sistemik: Erosi Kepercayaan Publik dan Demokrasi
Penyalahgunaan hukum dalam kasus Lembong memiliki implikasi yang jauh lebih luas daripada sekadar nasib individu. Pertama, hal ini memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika hukum dipersepsikan sebagai alat politik, legitimasi institusi-institusi ini terkikis, sehingga melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sebenarnya. Publik menjadi skeptis: apakah kasus korupsi yang diusut benar-benar bertujuan untuk keadilan, atau hanya untuk menyingkirkan lawan politik?
Kedua, lawfare menciptakan efek jera (chilling effect) bagi tokoh-tokoh publik yang kritis terhadap pemerintah. Ketika hukum digunakan untuk membungkam suara kritis, ruang demokrasi menyempit. Tokoh seperti Lembong, yang memiliki rekam jejak dalam mendorong reformasi ekonomi, menjadi sasaran empuk karena pandangannya yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Akibatnya, diskursus publik kehilangan keragaman pandangan, dan inovasi kebijakan terhambat karena ketakutan akan represi hukum.
Ketiga, fenomena ini memperburuk ketimpangan kekuasaan dalam sistem politik. Dengan mengendalikan aparat hukum, kelompok yang berkuasa dapat memanipulasi proses demokrasi, seperti pemilu, untuk mempertahankan dominasinya. Kasus Lembong, yang muncul menjelang tahun politik, menimbulkan kekhawatiran bahwa hukum akan terus digunakan untuk mengeliminasi pesaing potensial, merusak prinsip persaingan yang adil dalam demokrasi.
Solusi: Mengembalikan Supremasi Hukum
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah sistemik yang menjamin independensi dan integritas penegakan hukum. Pertama, reformasi institusi penegak hukum harus menjadi prioritas. KPK, misalnya, perlu dikembalikan ke posisi independennya dengan menghapus intervensi politik dalam pengangkatan pimpinan dan penanganan kasus. Seleksi pimpinan KPK harus dilakukan melalui proses yang transparan dan melibatkan partisipasi publik untuk memastikan akuntabilitas.
Kedua, penguatan mekanisme pengawasan terhadap penegakan hukum diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Pembentukan badan pengawas independen yang memiliki kewenangan untuk memeriksa proses penyelidikan dan penuntutan dapat menjadi langkah awal. Badan ini harus terdiri dari tokoh-tokoh independen yang memiliki integritas tinggi dan tidak terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.
Ketiga, transparansi dalam penanganan kasus hukum harus ditingkatkan. Dalam kasus Lembong, publik berhak mengetahui bukti-bukti konkret yang mendasari tuduhan, bukan sekadar narasi yang dibangun melalui media. Kejaksaan Agung dan KPK harus berkomitmen untuk mempublikasikan perkembangan kasus secara terbuka, termasuk rincian bukti dan prosedur yang dijalankan, guna meminimalkan spekulasi tentang motif politik.
Keempat, perlindungan terhadap tokoh-tokoh publik yang kritis terhadap pemerintah harus diperkuat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan mekanisme hukum yang melindungi hak kebebasan berpendapat, termasuk jaminan bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak akan dijadikan dasar untuk kriminalisasi. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa demokrasi tetap hidup melalui diskursus yang sehat dan beragam.
Hukum untuk Keadilan, Bukan Kekuasaan
Kasus Tom Lembong menjadi cermin bagi kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Ketika hukum dijadikan alat politik, keadilan menjadi korban, dan demokrasi kehilangan maknanya. Untuk mencegah erosi lebih lanjut, diperlukan komitmen kolektif untuk mengembalikan hukum pada fungsinya sebagai penjaga keadilan, bukan sebagai senjata untuk mempertahankan kekuasaan. Reformasi institusi, penguatan pengawasan, transparansi, dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat adalah langkah-langkah konkret yang dapat mengembalikan kepercayaan publik dan menegakkan supremasi hukum. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat membangun demokrasi yang matang dan berkeadilan.
2 thoughts on “Hukum Sebagai Alat Politik: Analisis Kasus Tom Lembong dan Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia”