Janji Manis Gubernur NTB Soal Lingkungan Kini Jadi Luka

0
img 20250706 wa00503948405749203408781
Aktivis  NTB yang turut menyuarakan kritik atas lemahnya komitmen pemerintah provinsi dalam menjaga kelestarian lingkungan

Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan 378 pulau kecil, destinasi wisata kelas dunia seperti Lombok dan Sumbawa, serta potensi agromaritimnya, adalah permata alam Nusantara. Namun, keindahan ini terancam oleh buruknya tata kelola lingkungan dan sumber daya alam. Tiga bulan kepemimpinan Gubernur Iqbal dan Wakil Gubernur Dinda telah memicu kritik tajam dari organisasi masyarakat sipil, seperti WALHI NTB dan Mi6, atas ketiadaan langkah konkret dalam menangani isu krusial: moratorium tambang, pengelolaan sampah, konservasi, dan tata ruang wilayah. Tulisan ini menggugat kelambanan pemerintah daerah dalam mewujudkan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan, sekaligus mengusulkan pendekatan berbasis keadilan ekologis sebagai solusi inovatif.

Retorika Tanpa Tindakan: Kegagalan Kebijakan Lingkungan

Janji kampanye Iqbal-Dinda menempatkan pelestarian lingkungan sebagai pilar utama pembangunan NTB. Namun, setelah tiga bulan, jurang antara retorika dan realitas kian nyata. WALHI NTB menyoroti bahwa moratorium tambang, yang dijanjikan untuk melindungi ekosistem pulau kecil dan kawasan konservasi, belum terealisasi. Aktivitas pertambangan di Sumbawa, misalnya, terus berlangsung tanpa pengawasan memadai, mengancam sumber daya air dan biodiversitas. Data Badan Lingkungan Hidup NTB mengungkap bahwa lebih dari 60% izin tambang tidak memenuhi standar lingkungan, namun tindakan tegas seperti pencabutan izin atau penegakan hukum masih nihil.

Pengelolaan sampah, isu mendesak di destinasi wisata seperti Lombok, juga terbengkalai. Dengan volume sampah mencapai 1.200 ton per hari, hanya 30% yang dikelola secara terpadu. Program daur ulang berbasis masyarakat yang dijanjikan selama kampanye belum menunjukkan wujud. Akibatnya, pantai-pantai ikonik seperti Kuta dan Senggigi terus tercemar, merusak daya tarik pariwisata sebagai tumpuan ekonomi daerah. Kegagalan ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bukti ketidakmampuan pemerintah daerah menerjemahkan visi lingkungan menjadi kebijakan yang terukur dan efektif.
Tata ruang wilayah di NTB mencerminkan ketimpangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) NTB 2023–2043, yang seharusnya menjadi panduan pembangunan berkelanjutan, dikritik karena minimnya partisipasi masyarakat lokal dan organisasi lingkungan. Kawasan hutan dan pesisir, yang seharusnya dilindungi, sering dialihfungsikan untuk proyek infrastruktur atau investasi tanpa kajian lingkungan memadai. Pembangunan resort di pulau-pulau kecil, misalnya, kerap mengabaikan daya dukung ekosistem, menyebabkan kerusakan terumbu karang dan mengancam mata pencaharian nelayan.

Tata Ruang dan Konservasi: Prioritas yang Tersesat

Konservasi sumber daya alam, pilar lain dalam janji kampanye, juga terlihat stagnan. Upaya pelestarian biodiversitas, seperti perlindungan penyu di Gili Trawangan atau mangrove di Teluk Saleh, tidak menunjukkan kemajuan berarti. Padahal, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa lebih dari 20% kawasan konservasi NTB terancam degradasi akibat aktivitas manusia. Ketiadaan kebijakan jelas dalam tiga bulan pertama ini menunjukkan lemahnya komitmen politik untuk menjadikan konservasi sebagai prioritas strategis.

Solusi Baru: Keadilan Ekologis sebagai Jalan Keluar

Untuk mengatasi krisis tata kelola lingkungan, NTB memerlukan pendekatan berbasis keadilan ekologis yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pertama, pemerintah daerah harus segera menerapkan moratorium tambang, disertai audit lingkungan menyeluruh terhadap izin pertambangan. Langkah ini akan melindungi ekosistem sekaligus memulihkan kepercayaan publik. Kedua, pengelolaan sampah perlu beralih ke model ekonomi sirkular. Program insentif untuk bank sampah atau koperasi daur ulang dapat memberdayakan komunitas lokal, sementara edukasi pengurangan sampah plastik harus digencarkan di kawasan wisata.

Ketiga, revisi RTRW harus melibatkan partisipasi publik yang inklusif, memastikan kawasan konservasi dan lahan produktif masyarakat lokal terlindungi. Teknologi geospasial dapat digunakan untuk memetakan zona rawan lingkungan, meningkatkan transparansi pengambilan keputusan. Keempat, konservasi harus diintegrasikan dengan ekonomi lokal melalui ekowisata berbasis masyarakat. Program ini tidak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga memberdayakan nelayan dan petani, memastikan manfaat ekonomi terdistribusi secara adil.

Tiga bulan kepemimpinan Iqbal-Dinda menunjukkan bahwa janji lingkungan hanyalah retorika kosong tanpa tindakan nyata. Kegagalan menangani moratorium tambang, pengelolaan sampah, tata ruang, dan konservasi mencerminkan lemahnya visi keberlanjutan. Namun, dengan mengadopsi pendekatan keadilan ekologis, NTB berpeluang menjadi model tata kelola lingkungan yang progresif. Pemerintah daerah harus bertindak cepat, bukan hanya untuk menepati janji politik, tetapi untuk menyelamatkan kekayaan alam NTB bagi generasi mendatang. Kelambanan saat ini bukan sekadar pengkhianatan terhadap janji, tetapi ancaman terhadap masa depan NTB sebagai permata Nusantara. (Agil A-M)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *