Kegagalan Pengawasan BPD Desa Runggu: Ancaman Serius bagi Otonomi Desa di Kecamatan Belo

0
IMG-20251005-WA0219

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) seharusnya berfungsi sebagai penjaga utama integritas pengelolaan dana desa, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, di Desa Runggu, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, lembaga ini justru menunjukkan kelumpuhan kronis dalam mengawasi proyek-proyek desa yang sarat penyimpangan. Kasus dugaan korupsi Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) tahun anggaran 2019, termasuk penggelapan Bantuan Langsung Tunai (BLT) DD, mengungkap kerapuhan mekanisme pengawasan internal yang menggerogoti fondasi otonomi desa. Kritik pedas ini bukan sekadar isu lokal, melainkan manifestasi sistemik yang mengancam prinsip desentralisasi kekuasaan sebagaimana diamanatkan undang-undang tersebut.

Peran BPD dalam pengawasan diatur secara eksplisit dalam Pasal 54 UU Desa, yang mewajibkan lembaga ini memantau pelaksanaan kebijakan kepala desa, mencakup proyek infrastruktur hingga distribusi bantuan sosial. Di Runggu, warga telah berulang kali melakukan demonstrasi menentang ketidaktransparanan pengelolaan ADD senilai Rp95 juta, serta penyimpangan lain yang langsung merugikan kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, BPD—yang dirancang sebagai pengawas independen—justru terperangkap dalam dinamika konflik internal, seperti laporan balik dari kepala desa atas tuduhan fitnah yang diajukan anggota BPD sendiri. Kegagalan ini mencerminkan ketidakmampuan BPD dalam menjalankan fungsi fiscal oversight, di mana anggotanya sering bergantung pada data dari perangkat desa, sehingga rentan terhadap kolusi dan tekanan politik lokal yang mematikan independensi.

Penyebab kegagalan pengawasan di Runggu bersifat struktural dan operasional, yang memperlihatkan kelemahan sistemik dalam tata kelola desa Indonesia. Pertama, defisit kapasitas sumber daya manusia: anggota BPD umumnya berasal dari kalangan masyarakat biasa tanpa pelatihan mendalam tentang audit keuangan atau regulasi pengadaan barang dan jasa. Hal ini diperburuk oleh keterbatasan anggaran untuk pemantauan lapangan, menjadikan pengawasan sekadar ritual formal tanpa investigasi substantif. Kedua, independensi BPD terganggu oleh pola patron-klien dengan kepala desa; di Runggu, seperti di banyak desa lain, BPD sering terbentuk melalui kooptasi politik, membuatnya enggan menantang proyek yang dikuasai elit desa.
Akibatnya, proyek infrastruktur dan bantuan sosial rawan mangkrak atau disalahgunakan, sebagaimana terlihat dalam aksi Forum Swadaya Masyarakat (FSA) NTB yang dihadang preman saat menyoroti dugaan korupsi—sebuah indikasi intimidasi sistematis yang melindungi penyimpangan.
Kritik tajam di sini: BPD bukan lagi wakil rakyat, melainkan perpanjangan tangan eksekutif desa yang membiarkan dana publik lenyap, merugikan kebutuhan dasar seperti pembangunan jalan atau posyandu bagi masyarakat pedesaan.

Dampak kegagalan ini meluas ke ranah ekonomi, sosial, dan politik. Di Runggu, ketidakpercayaan warga terhadap pemerintahan desa memicu konflik horizontal, seperti bentrokan dengan desa tetangga Roka yang dipicu isu batas wilayah dan sumber daya, menyebabkan kerusakan rumah dan korban luka
Secara nasional, fenomena ini berkontribusi pada maraknya penyimpangan dana desa, yang sering lolos pengawasan internal menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini mengancam esensi UU Desa untuk memberdayakan masyarakat akar rumput, justru memperkuat sentralisasi kekuasaan di tingkat kabupaten dan melemahkan otonomi desa.

Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan inovatif yang jarang dibahas: integrasi teknologi digital adaptif dalam pengawasan BPD. Misalnya, platform berbasis blockchain dengan elemen kecerdasan buatan (AI) untuk transparansi real-time alokasi dana, di mana warga dan BPD dapat memverifikasi data proyek secara terbuka, meminimalkan kolusi melalui audit otomatis. Pendekatan ini melampaui blockchain konvensional dengan menambahkan AI untuk deteksi anomali penyimpangan secara prediktif—sebuah inovasi yang belum dieksplorasi secara luas di desa Indonesia. Selain itu, reformasi pemilihan BPD melalui musyawarah inklusif dengan kuota perempuan dan pemuda, ditambah pelatihan wajib dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Inovasi ini bukan reaktif, melainkan proaktif, membuka pemahaman baru bahwa pengawasan desa harus bertransformasi dari model konvensional ke ekosistem digital adaptif, menginspirasi replikasi di desa lain untuk mencegah kegagalan berulang.

Pada akhirnya, kegagalan BPD di Desa Runggu merupakan peringatan keras bagi ekosistem desa Indonesia. Tanpa pengawasan independen dan tajam, otonomi desa berisiko menjadi instrumen eksploitasi, bukan pemberdayaan. Pemerintah pusat dan daerah harus bertindak segera, agar dana desa menjadi investasi berkelanjutan, bukan jurang korupsi yang menggerus kepercayaan publik.

img 20251005 wa0219790202925877613004
Oleh : Kegagalan Pengawasan BPD Desa Runggu: Ancaman Serius bagi Otonomi Desa di Kecamatan Belo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *