Kritik terhadap KKN Sisdamas: Siklus Lebih Penting dari Pengabdian
Sudah saatnya KKN kembali diarahkan pada kebermanfaatan nyata, bukan sekadar memenuhi prosedur administrasi. Mahasiswa perlu didorong untuk menciptakan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, agar pengabdian tidak hanya berhenti di kertas laporan.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) seharusnya menjadi momentum emas bagi mahasiswa untuk menghidupkan salah satu pilar Tridharma Perguruan Tinggi: Pengabdian kepada Masyarakat. Sebuah proses pengejawantahan ilmu yang mereka pelajari di kampus menjadi aksi nyata. Tapi dalam praktiknya, terutama dalam sistem berbasis Sisdamas, semangat itu justru tergerus oleh ritual administratif.
Alih-alih menjadi ajang pengabdian yang reflektif dan solutif, KKN kini justru terjebak dalam rutinitas siklus: pemetaan sosial, pengorganisasian wilayah, pengisian logbook, input laporan harian dan lain sebagainya.
Akibatnya, mahasiswa dipaksa lebih berfokus ke tahapan siklus, bukan mengimplementasikan berbagai teori yang sudah mereka pelajari di kampus untuk bisa menyelesaikan problem nyata masyarakat. Mahasiswa Pendidikan yang seharusnya membuat program literasi, kelas inklusi, atau pelatihan guru lokal, mereka justru sibuk mendata jumlah kepala keluarga dan mencocokkan data RW.
Padahal yang dibutuhkan warga adalah sentuhan pendidikan yang transformatif. Mahasiswa sosial yang dibekali teori-teori perubahan sosial dan dinamika komunitas, mereka justru lebih banyak mengisi tabel hasil FGD atau membuat laporan struktural. Diskusi dengan warga hanya jadi formalitas, bukan jalan menuju pemahaman dan solusi sosial yang kontekstual. Mahasiswa ekonomi yang seharusnya merancang sistem keuangan mikro, pelatihan UMKM, atau digitalisasi warung warga, mereka malah sibuk mengurus proposal belanja dan laporan pertanggungjawaban dana. Pemberdayaan ekonomi hanya tinggal jargon di cover laporan.Bahkan, di Form Evaluasi Individu – KKN Sisdamas Siklus 1, mahasiswa diminta mengisi pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada kaitannya langsung dengan teknis KKN itu sendiri.Contohnya:
- Apakah kamu merasa bahwa dakwah digital membantumu untuk tetap istiqamah di tengah kesibukan kuliah?”
- “Apakah kamu mengikuti akun dakwah di TikTok atau Instagram?”
- “Apakah kamu menggunakan aplikasi dzikir/doa digital?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu relevan jika konteksnya survei keagamaan atau penelitian digital religiosity. Tapi dalam konteks evaluasi KKN, ini justru menunjukkan bahwa sistem lebih sibuk mengumpulkan data seremonial ketimbang menilai kualitas kontribusi sosial mahasiswa di lapangan. Sisdamas yang awalnya dirancang untuk mempermudah proses KKN, kini malah jadi hal yang paling dikejar. Bukan lagi alat bantu, tapi seperti tujuan utama. Di sinilah letak persoalannya: ketika sistem terlalu menekankan pada struktur dan prosedur, maka nilai-nilai pengabdian justru memudar. Kita menciptakan lulusan yang cakap administrasi, tapi gagap empati.
KKN bukan hanya sekadar checklist untuk lulus, tapi juga sebagai ladang latihan untuk bisa menjadi warga negara yang berpihak pada masyarakat. Jika KKN terus diarahkan untuk mengejar kelengkapan laporan, bukan kebermanfaatan nyata, maka pengabdian hanya akan menjadi seremonial akademik yang kehilangan jiwa
