Lulus S1 tidak ada isi, IPK Cumlaude dipertanyakan?

1
20250706 0402517585878691908490840
Efouria IPK tinggi

Fenomena “inflasi IPK” belakangan menjadi sorotan di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Dahulu, memiliki IPK 3,0 sudah cukup untuk disebut mahasiswa berprestasi. Kini, angka tersebut justru dianggap biasa saja. Data tahun 2024 menunjukkan rata-rata IPK nasional mencapai 3,59. Ini artinya, sebagian besar mahasiswa lulus dengan predikat sangat tinggi, bahkan banyak yang menyandang gelar cumlaude. Tapi di balik statistik yang tampak menggembirakan itu, ada pertanyaan besar yang perlu kita renungkan: apakah ini cerminan meningkatnya kualitas mahasiswa, atau justru penurunan standar penilaian? Baca juga (Lulusan karena kasihan: Realita yang terjadi di meja bimbingan)

Salah satu faktor utama yang memicu lonjakan IPK ini adalah perubahan dalam sistem pendidikan tinggi. Kampus kini dituntut untuk lebih fleksibel, adaptif, dan fokus pada target akreditasi. Kurikulum digital, sistem pembelajaran daring, serta penugasan yang lebih terstruktur menjadi bagian dari transformasi ini. Kampus dituntut untuk meluluskan mahasiswa tepat waktu demi memenuhi indikator kinerja. Namun dalam proses itu, standar penilaian pun perlahan berubah dan sering kali menjadi lebih longgar by settingan.

Settingan ini bisa jadi berdampak besar. Ketika hampir semua mahasiswa lulus dengan IPK tinggi, maka gelar akademik, terutama yang menyandang predikat cumlaude, bisa kehilangan makna. Di sisi lain, dunia kerja masih membutuhkan tolak ukur yang jelas dan kredibel untuk menilai kompetensi seseorang. Jika angka IPK tidak lagi mencerminkan kemampuan riil, maka akan terjadi kesenjangan antara ekspektasi akademik dan realitas lapangan kerja. Tentu kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa sepenuhnya. Banyak dari mereka memang bekerja keras, beradaptasi dengan sistem baru, dan mengikuti semua proses pendidikan sesuai aturan. Namun sistem penilaian yang terlalu lunak justru tidak memberikan ruang yang adil bagi diferensiasi kemampuan. Akibatnya, yang paling berprestasi dan yang biasa-biasa saja bisa terlihat serupa di atas kertas.

Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk mengasah kemampuan, karakter, dan daya saing. Gelar akademik dan IPK bukan sekadar formalitas administratif, tetapi simbol dari proses intelektual yang dijalani dengan sungguh-sungguh. Karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk kembali menegaskan kualitas dan objektivitas penilaian. Harus ada keberanian untuk memberi nilai sesuai dengan capaian riil mahasiswa, bukan demi mengejar citra bagus di atas laporan akreditasi.

Apabila tren inflasi IPK ini terus dibiarkan tanpa evaluasi, sehingga perguruan tinggi kita berisiko mencetak lulusan yang tidak siap bersaing di dunia nyata. Dunia kerja membutuhkan kompetensi, bukan hanya angka tinggi. Maka, sudah saatnya kita meninjau ulang bagaimana sistem penilaian dan kualitas pendidikan diterapkan agar gelar akademik tetap bermakna, dan pendidikan tetap menjadi jalan menuju kemajuan sejati, bukan sekadar seremoni kelulusan. (Tim Redaksi)

1 thought on “Lulus S1 tidak ada isi, IPK Cumlaude dipertanyakan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *