Mahasiswa Apatis Akibat Terobsesi IPK tinggi

Perguruan tinggi negeri maupun swasta (PTN/PTS) merupakan lembaga pendidikan tinggi tempat mahasiswa terdaftar secara administrasi dan akademik. Mahasiswa tercatat dalam sistem Kementerian Pendidikan, dan dari sanalah seharusnya proses pendidikan berjalan membentuk manusia cendekia yang kritis, memiliki ilmu pengetahuan, dan peduli terhadap persoalan sosial di sekitarnya.
Namun, realitas yang terjadi di banyak kampus justru berbanding terbalik dengan semangat ideal tersebut.
Budaya Kompetisi dan Obsesi IPK
Beberapa sistem kampus bahkan secara tidak langsung mendorong mahasiswa untuk “berlomba-lomba” dalam hal nilai, bukan dalam hal pemikiran atau kontribusi sosial. Akibatnya, banyak mahasiswa yang menghindari organisasi, tidak ikut kegiatan sosial, bahkan tidak peduli terhadap isu-isu yang terjadi di masyarakat maupun di lingkungan kampus mereka sendiri.
Apatisme: Gejala atau Simptom Sistem?
Fenomena apatisme mahasiswa sebenarnya bukan muncul begitu saja. Ia adalah gejala dari sistem pendidikan yang terlalu menekankan output angka, bukan proses pembelajaran holistik. Mahasiswa lebih disibukkan dengan tugas-tugas administratif, laporan praktikum, dan UTS/UAS—daripada diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan bersikap kritis terhadap dunia nyata.
Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang publik kedua setelah rumah di mana mahasiswa bisa tumbuh menjadi individu yang utuh. Pendidikan tinggi bukan hanya soal menghafal teori, tetapi juga tentang membentuk karakter, memperluas perspektif, dan membangun keberanian untuk bersuara.
Mengembalikan Esensi Mahasiswa
Mahasiswa, menurut sejarahnya, adalah agent of change dan moral force. Mereka memiliki peran penting dalam membangun peradaban dan menyuarakan kebenaran. Namun, ketika sistem kampus dan tekanan sosial hanya memfokuskan mereka pada nilai semata, peran itu perlahan hilang.
Solusi yang bisa dilakukan:
- Kampus perlu menyeimbangkan antara aspek akademik dan pengembangan karakter. Ruang-ruang diskusi, forum terbuka, dan komunitas harus dihidupkan kembali.
- Mahasiswa perlu menyadari bahwa nilai bukanlah segalanya. IPK penting, tapi bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan.
- Organisasi mahasiswa dan BEM harus aktif mengajak mahasiswa untuk terlibat. Apatisme tidak akan hilang kalau tidak ada ruang inklusif untuk berpartisipasi.
Sudah waktunya kita bertanya kembali: untuk apa sebenarnya kita kuliah? Apakah hanya untuk mendapat nilai bagus dan lulus cepat? Atau untuk menjadi manusia seutuhnya yang berpikir, merasa, dan bertindak demi kebaikan bersama? Mahasiswa tidak boleh berhenti pada tumpukan nilai di transkrip. Mereka harus berani keluar dari ruang kelas dan menjadi bagian dari solusi atas masalah di sekitarnya.
“Kampus bukan pabrik nilai. Kampus adalah taman berpikir.”
1 thought on “Mahasiswa Apatis Akibat Terobsesi IPK tinggi”