Masihkah Falsafah ‘Tut Wuri Handayani’ Menemukan Rumahnya di Sekolah Kita Hari Ini?

0
images (33)

Penulis: Fadil Muhammad Siregar, S.Pd.

Pendidikan masa kini di desain untuk melahirkan kaum priyayi yang patuh bukan rakyat yang merdeka, sehingga muncullah kurikulum sebagai akal-akalannya. Sistem ini diduga dibuat untuk kebutuhan administratif perusahaan. Dalam konteks ini, Ki hajar Dewantara Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, menolak privilese golongan atas dan memilih menjadi bagian dari rakyat. Ia menyadari bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menindas.

Pengantar: Semboyan yang Sering Diucap, Namun Kian Asing Dirasakan

“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”
Kalimat ini tak asing di telinga kita. Diucapkan saat upacara, tertulis di kepala dokumen, dan diajarkan di pelatihan guru. Tapi, sejauh mana falsafah ini hidup dalam praktik pendidikan kita? Apakah masih ada ruang bagi murid untuk tumbuh sesuai kodratnya, atau justru terjebak dalam sistem yang lebih sibuk mencetak angka daripada membentuk manusia?

Falsafah Kepemimpinan Pendidikan: Lebih dari Sekadar Slogan

Ki Hajar Dewantara tidak sedang membuat jargon ketika merumuskan prinsip ini. Ia sedang merumuskan etika kepemimpinan pendidikan yang memuliakan kemerdekaan berpikir dan kemanusiaan anak.

  • Ing Ngarsa Sung Tuladha: Pemimpin memberi keteladanan di depan.
  • Ing Madya Mangun Karsa: Menginspirasi dan menggerakkan dari tengah.
  • Tut Wuri Handayani: Memberikan dorongan dari belakang.

Tiga posisi itu bukan urutan linear, tetapi siklus dinamis yang menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Seorang pendidik idealnya tidak memaksakan, melainkan membimbing, tidak menggurui, melainkan merangsang kesadaran. Maka dari itu, falsafah ini menolak pendekatan koersif dan menggantikannya dengan pendekatan yang humanistik dan dialogis.

Relevansi Falsafah Ki Hajar di Tengah Krisis Pendidikan Modern

Ironisnya, ketika teknologi pendidikan semakin canggih dan birokrasi semakin rapi, pemikiran Ki Hajar justru semakin dilupakan. Pendidikan kita lebih sibuk mengukur ketuntasan kompetensi, melaporkan angka akreditasi, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Apa yang hilang?
Roh pendidikan. Kepercayaan bahwa setiap anak adalah manusia utuh, bukan hanya calon pekerja. Sekolah menjadi institusi produksi nilai ujian, bukan ruang pembebasan batin. Banyak murid kehilangan relasi, kehilangan makna. Guru, alih-alih menjadi inspirator, sering kali terjebak menjadi operator sistem.

Dalam kondisi ini, kita melihat betapa mendesaknya menghidupkan kembali nilai-nilai Ki Hajar. Falsafah “Tut Wuri Handayani” bisa menjadi kompas etik, mengingatkan kita bahwa tujuan akhir pendidikan bukan ijazah, tapi kemerdekaan berpikir dan keluhuran budi pekerti.

Tanggung Jawab Generasi Kini: Mewarisi atau Melupakan?

Ki Hajar Dewantara tidak hanya mewariskan sistem, tapi juga epistemologi pendidikan nasional—satu cara pandang bahwa pendidikan adalah alat perjuangan budaya, bukan semata alat ekonomi. Ia percaya bahwa pendidikan harus mengabdi pada kemerdekaan, bukan pada kekuasaan atau pasar.

Kini, tugas generasi kita bukan meratapi ketertinggalan sistem pendidikan, tapi menyatukan kembali idealisme Ki Hajar dengan realitas masa kini. Kita butuh keberanian moral untuk mengatakan bahwa pendidikan bukan semata proyek infrastruktur, tetapi perjuangan kultural dan moral.

Penutup: Pendidikan Bukan Soal Kecepatan, tapi Kedalaman

“Tut Wuri Handayani” adalah panggilan untuk mendidik dengan hati, bukan dengan mesin. Untuk membimbing, bukan memaksa. Untuk menumbuhkan, bukan mencetak.

Dan kita harus bertanya jujur pada diri sendiri:
Apakah sekolah hari ini masih menjadi rumah bagi semangat itu?
Ataukah “Tut Wuri Handayani” hanya tinggal nama, terpinggirkan oleh logika kuantitas dan akreditasi?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *