Melampaui Tangga Hukum Kelsen: Kritik atas Judicial Activism dalam Putusan MK 135/2024

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengguncang fondasi demokrasi Indonesia melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 dengan jeda waktu minimal dua tahun atau maksimal dua tahun enam bulan. Digagas oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), putusan ini diklaim bertujuan menonjolkan isu pembangunan daerah yang tersaput hiruk-pikuk pemilu serentak. Namun, di balik dalih mulia itu, MK telah melangkah terlalu jauh, melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi dan menciptakan norma baru yang menggoyang hierarki hukum Hans Kelsen. Putusan ini bukan sekadar keliru, melainkan membahayakan demokrasi dengan aroma judicial activism yang kental.
Hans Kelsen, dalam Pure Theory of Law, menegaskan bahwa hukum adalah sistem norma hierarkis (Stufenbau), di mana undang-undang harus tunduk pada konstitusi sebagai norma tertinggi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang, bukan merancang kebijakan baru. Namun, dengan menetapkan pemisahan pemilu dan jeda waktu, MK telah bertindak sebagai legislator bayangan, menciptakan norma yang seharusnya menjadi hak prerogatif DPR dan pemerintah. Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, menilai putusan ini sebagai judicial overreach yang keluar dari koridor konstitusional. Anggota Komisi II DPR, Muhammad Rifqinizamy, bahkan menyebutnya “kontradiktif” dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang mengukuhkan pemilu serentak untuk efisiensi dan koherensi demokrasi. Jika Kelsen menegaskan bahwa setiap norma harus berpijak pada norma di atasnya, mengapa MK justru menginjak-injak tangga hukum itu sendiri?
Kegaduhan ini diperparah oleh ketidakpastian hukum yang ditimbulkan. Teori kepastian hukum menuntut konsistensi putusan pengadilan untuk menjaga kepercayaan publik dan stabilitas sistem hukum. Namun, Putusan 135/2024 bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya, seperti Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang mendukung pemilu serentak demi efisiensi logistik dan pengawasan. Titi Anggraini, pakar kepemiluan, dalam wawancara dengan Kompas (25 Juni 2025), menyatakan bahwa meskipun putusan ini sah secara konstitusional, pengabaian logika putusan sebelumnya mencerminkan inkonsistensi yang membingungkan. KPU dan Bawaslu kini terjebak dalam limbo hukum, dipaksa menyesuaikan regulasi untuk pemilu 2029 tanpa kepastian kapan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada rampung. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa persiapan pemilu serentak 2024 memakan waktu tiga tahun dengan anggaran Rp76 triliun. Dengan pemisahan pemilu, waktu dan biaya berpotensi membengkak, mengancam stabilitas hukum dan keuangan negara. Apakah MK sengaja mengguncang sistem demi ambisi konstitusional yang tak terukur?
Dampak ekonomi dan politik dari putusan ini tak bisa diabaikan. Pemilu serentak 2024, menurut laporan KPU, menelan biaya Rp76,6 triliun untuk logistik, pengawasan, dan kampanye. Pemisahan pemilu nasional dan daerah berisiko menggandakan anggaran ini, terutama dengan kebutuhan dua kali penyelenggaraan dalam kurun waktu dua tahun. Di tengah tekanan fiskal pemerintahan Prabowo-Gibran, yang mengusung efisiensi anggaran melalui program makan bergizi gratis (anggaran Rp71 triliun pada 2025), putusan ini bagaikan pukulan telak bagi keuangan negara. Lebih jauh, jeda dua tahun antara pemilu nasional dan daerah berpotensi memperpanjang periode instabilitas politik. Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2020 menunjukkan bahwa pemilu serentak mengurangi durasi ketidakpastian politik hingga 40% dibandingkan pemilu bertahap. Dengan pemisahan, Indonesia berisiko kembali ke era kampanye politik berkepanjangan, mengganggu fokus pembangunan. Apakah MK benar-benar mempertimbangkan konsekuensi ini, atau hanya terjebak pada tafsir konstitusional yang sempit?
Yang lebih memalukan adalah minimnya partisipasi publik dalam putusan ini. Dalam teori demokrasi deliberatif Jürgen Habermas, keputusan yang memengaruhi kedaulatan rakyat harus lahir dari diskusi publik yang inklusif. Namun, Putusan 135/2024 diambil secara elitis, hanya melibatkan Perludem dan sembilan hakim MK, tanpa konsultasi luas dengan masyarakat, akademisi, atau DPR. Ketua DPR Puan Maharani, dalam pernyataan pada 27 Juni 2025, menegaskan bahwa PDI Perjuangan akan mengkaji putusan ini karena kurangnya koordinasi awal. Survei Indikator Politik Indonesia (Juli 2025) mengungkapkan bahwa 62% masyarakat tidak mengetahui putusan ini, mencerminkan kegagalan MK dalam membangun legitimasi publik. Jika demokrasi Indonesia dibangun atas kedaulatan rakyat, mengapa MK justru mengabaikan suara rakyat dalam isu sekrusial pemilu?
Pendukung putusan ini berargumen bahwa pemisahan pemilu akan memperkuat otonomi daerah dengan memberi ruang bagi isu lokal untuk bersinar. Namun, argumen ini rapuh. Tidak ada data empiris yang menunjukkan bahwa pemilu serentak 2019 atau 2024 benar-benar menenggelamkan isu daerah. Sebaliknya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa partisipasi pemilih di pilkada serentak mencapai 73%, lebih tinggi dibandingkan pilkada bertahap sebelumnya. Tanpa bukti kuat, klaim MK hanyalah retorika kosong yang menutupi ambisi judicial activism.
Untuk meredam kegaduhan ini, MK harus berbenah. Pertama, MK perlu melibatkan publik melalui forum terbuka sebelum mengeluarkan putusan sebesar ini, misalnya melalui konsultasi nasional yang melibatkan DPR, KPU, Bawaslu, akademisi, dan masyarakat sipil. Kedua, DPR dan pemerintah harus segera merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, memastikan transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, kajian independen tentang dampak ekonomi, politik, dan sosial pemisahan pemilu harus dilakukan oleh lembaga seperti LIPI atau universitas ternama, dengan hasil yang dipublikasikan secara terbuka. Keempat, KPU perlu menggencarkan edukasi publik menjelang 2029, dengan alokasi anggaran sosialisasi minimal Rp500 miliar berdasarkan estimasi KPU 2024. Terakhir, dan yang terpenting, MK harus kembali ke peran konstitusionalnya sebagai penjaga, bukan pembuat, norma hukum.
Putusan MK 135/2024 adalah cermin judicial activism yang sembrono, mengguncang tangga hukum Kelsen, mengabaikan prinsip kepastian hukum, dan meremehkan demokrasi deliberatif. MK, yang seharusnya menjadi benteng konstitusi, justru bertindak sebagai penguasa norma, melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Jika langkah ini dibiarkan, Indonesia berisiko terjebak dalam ketidakpastian hukum dan politik yang berkepanjangan. Pertanyaannya, akankah MK terus menjadi penutup tangga hukum, atau kembali ke peran sejatinya sebagai penjaga konstitusi?(Agil.A-M)