Menelusuri Jejak HMI: Kritik Sejarah demi Merancang Masa Depan yang Relevan

0
img 20250704 wa00027719458306189013771

Menelusuri Jejak HMI: Kritik Sejarah demi Merancang Masa Depan yang Relevan

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sejak didirikan pada 5 Februari 1947, merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia. Dengan visi awal mengintegrasikan nilai-nilai Islam, kebangsaan, dan intelektualitas, HMI telah meninggalkan jejak signifikan dalam perjuangan sosial dan intelektual bangsa. Namun, di tengah tantangan zaman yang kian kompleks digitalisasi, polarisasi ideologi, dan krisis moral generasi muda HMI perlu menjalani refleksi kritis atas sejarahnya untuk merumuskan peran yang relevan di masa depan. Kritik sejarah yang tajam bukan sekadar evaluasi, melainkan fondasi strategis untuk memastikan HMI tetap menjadi agen perubahan yang berpijak pada nilai-nilai Islam dan keindonesiaan.

Sejarah HMI mencerminkan peran ganda:

Sebagai pelopor perjuangan dan, di saat bersamaan, entitas yang rentan terhadap dinamika politik. Pada masa kemerdekaan, HMI turut memperjuangkan pendidikan dan mempertahankan semangat nasionalisme. Namun, di era Orde Baru, organisasi ini kerap dikritik karena dianggap terkooptasi oleh rezim Soeharto. Meskipun HMI berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin berintegritas melalui kaderisasi, kompromi dengan kekuasaan menimbulkan noda sejarah: Independensi organisasi sering kali terkorbankan demi akses politik. Pertanyaan kritis muncul: sejauh mana HMI mampu menjaga idealisme di tengah tekanan politik? Ketidakmampuan menjawab pertanyaan ini dengan jujur hanya akan melemahkan legitimasi HMI sebagai organisasi intelektual yang kritis.

Tantangan Zaman: Digitalisasi dan Krisis Nilai

Konteks kekinian menuntut HMI untuk tidak sekadar berpijak pada romantisme masa lalu, tetapi beradaptasi dengan tantangan baru. Digitalisasi, misalnya, telah mengubah cara generasi muda berpikir dan berorganisasi. Media sosial mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga memperdalam polarisasi ideologi. HMI, yang dulu menjadi wadah diskusi intelektual di kampus, kini berhadapan dengan generasi yang lebih pragmatis dan rentan terhadap narasi populis. Krisis nilai di kalangan anak muda, ditambah isu global seperti perubahan iklim dan ketimpangan sosial, menuntut HMI untuk tidak hanya reaktif, tetapi proaktif dalam merumuskan solusi berbasis intelektualisme Islam yang inklusif.

Kritik sejarah menjadi kunci untuk merancang masa depan HMI.

Pertama, HMI harus mengakui kontradiksi dalam sejarahnya, seperti keterlibatan dalam politik pragmatis, untuk membangun integritas baru. Kedua, kaderisasi perlu direformasi agar tidak hanya mencetak pemimpin, tetapi juga intelektual yang mampu menjawab tantangan global. Misalnya, HMI dapat mengintegrasikan isu-isu seperti keadilan iklim atau.snpit dan keberlanjutan dalam kurikulum kaderisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi Islam moderat di Barat. Ketiga, HMI harus menjembatani nilai-nilai keislaman dengan keberagaman budaya Indonesia, menghindari pendekatan eksklusif yang dapat mengasingkan kelompok lain.

Perspektif baru yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah visi HMI sebagai “jembatan intelektual” yang mengintegrasikan Islam, keindonesiaan, dan respons terhadap isu global. HMI dapat menjadi pelopor gerakan intelektual muda yang tidak hanya kritis terhadap ketimpangan sosial, tetapi juga inovatif dalam menghadapi disrupsi digital. Sebagai contoh, HMI dapat mengembangkan platform digital untuk diskusi keislaman yang inklusif, melibatkan generasi muda dalam merumuskan solusi terhadap masalah seperti hoaks dan radikalisme online. Selain itu, HMI perlu memperjuangkan narasi Islam yang ramah lingkungan, mengingatkan umat akan tanggung jawab khalifah fil-ardh dalam menjaga bumi.

Menelusuri jejak HMI bukanlah nostalgia, melainkan panggilan untuk berbenah

Dengan kritik sejarah yang jujur, HMI dapat merancang langkah strategis: memperkuat independensi, mereformasi kaderisasi, dan merespons isu-isu kontemporer dengan pendekatan intelektual yang inklusif. Hanya dengan demikian, HMI dapat tetap relevan sebagai motor penggerak perubahan yang berpijak pada nilai-nilai luhur Islam dan keindonesiaan, sekaligus menjawab tantangan global abad ke-21.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *